SUGENG RAWUH - SELAMAT DATANG - DI SITUS POEDJA KESOEMA - UNTUK BELAJAR SERTA IKUT MELESTARIKAN BUDAYA ADI LUHUNG BANGSA INDONESIA

Sinambi midangetaken Gendhing Jawa

Minggu, 05 Desember 2010

1 SURO

Makna apa bagi orang jawa 1 SURO tersebut?
oleh Lilik Susetyo
Bagi masyarakat Jawa, kegiatan menyambut bulan Suro ini sudah berlangsung sejak berabad-abad yg lalu. Dan kegiatan yg berulang-ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan serta menjadi tradisi yg pasti dilakukan di setiap tahunnya. Itulah yg kemudian disebut budaya dan menjadi ciri khas bagi komunitasnya. Namun kalau dicermati, tradisi di bulan Suro yg dilakukan oleh masyarakat Jawa ini adalah sebagai upaya untuk menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspodo.Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning dumadi (asal mulanya), menyadari kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dan tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.Waspodo, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan awas terhadap segala godaan yg sifatnya menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari Sang Pencipta, sehingga dapat menyulitkan kita dalam mencapai manunggaling kawula gusti (bersatunya makhluk dan Sang Khalik).

Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi masyarakatnya juga disebut bulan yg sangat sakral karena dianggap bulan yg suci atau bulan untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, serta mendekatkan diri kepada Sang Khalik.Cara yg dilakukan biasanya disebut dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yg ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah esensi dari kegiatan budaya yg dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Suro. Tentunya makna ini juga didapatkan ketika bulan Poso (Ramadhan, Tahun Hijriyah), khususnya yg memeluk agama Islam.Lelaku yg dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai media introspeksi biasanya banyak sekali caranya. Ada yg melakukan lelaku dengan cara nenepi (meditasi untuk merenungi diri) di tempat-tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam para wali, gua dan sebagainya. Ada juga yg melakukannya dengan cara lek-lekan (berjaga semalam suntuk tanpa tidur hingga pagi hari) di tempat-tempat umum seperti di alun-alun, pinggir pantai, dan sebagainya.

Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng kraton sambil membisu.Begitu pula untuk menghormati bulan yg sakral ini, sebagian masyarakat Jawa melakukan tradisi syukuran kepada Tuhan pemberi rejeki, yaitu dengan cara melakukan labuhan dan sedekahan di pantai, labuhan di puncak gunung, merti dusun atau suran, atau lainnya. Dan karena bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yg baik untuk mensucikan diri, maka sebagian masyarakat lain, melakukan kegiatan pembersihan barang-barang berharga, seperti jamasan keris pusaka, jamasan kereta, pengurasan enceh di makam-makam, dan sebagainya. Ada juga yg melakukan kegiatan sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas wayang kulit, ketoprak, nini thowok, dan kesenian tradisional lainnya. Apapun yg dilakukan boleh saja terjadi asal esensinya adalah dalam rangka perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.

Namun akibat perkembangan zaman serta semakin heterogennya masyarakat suatu komunitas dan juga karena dampak dari berbagai kepentingan yg sangat kompleks, lambat laun banyak masyarakat terutama yg awam terhadap budaya tradisional, ndak lagi mengetahui dengan jelas di balik makna asal tradisi budaya bulan Suro ini. Mereka umumnya hanya ikut-ikutan, seperti beramai-ramai menuju pantai, mendaki gunung, bercanda ria sambil mengelilingi benteng, berbuat kurang sopan di tempat-tempat keramat dan sebagainya. Maka ndak heran jika mereka menganggap bahwa bulan Suro itu ndak ada bedanya dengan bulan-bulan yg lain.Di sisi lain, ternyata kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa sendiri enggan untuk melakukan kegiatan yg bersifat sakral, misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat mereka hindari. Entah kepercayaan ini muncul sejak kapan, saya juga ndak tahu. Namun yg jelas sampai sekarangpun mayoritas masyarakat Jawa ndak berani menikahkan anaknya di bulan Suro. Ada sebagian masyarakat Jawa yg percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan yg konon ceritanya setiap bulan Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (ndak ada yg tahu berapa jumlah anaknya) sehingga masyarakat Jawa yg punya gawe di bulan Suro ini diyakini penganten atau keluarganya ndak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik berupa tragedi cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada atau tidak, yg jelas masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak. Padahal bagi pemeluk agama Islam, dan mungkin juga pemeluk agama lain, bahwa semua hari dan bulan itu baik untuk melakukan kegiatan apapun termasuk menikahkan anak.

Aneh memang, itulah kepercayaan. Akankah masyarakat Jawa di masa mendatang punya cara lain lagi dalam memaknai bulan Suro ? Jawabannya ada pada anak cucu kita sebagai generasi penerus.
Oleh : Lilik Susetyo

Jumat, 19 November 2010

PRABU JAYA BAYA

Merunut Jejak Sang Raja Waskita Prabu Jayabhaya
PUTRA RAJA PRABU ERLANGGA
Jayabhaya yang sedemikian populer dan abadi dengan ramalannya, merupakan raja paling terkenal di Kediri Jawa Timur sesudah zaman Prabu Erlangga. Dalam sejarahnya, Jayabhaya tak hanya dikenal sakti dan waskita. Tetapi, juga kejam karena tega menggempur adiknya sendiri, Jayasabha.
Rentang jauh perjalanan sejarah jagat Nusantara dimulai dengan kedatangan para pengembara dari Saka Hindhustan atau India. Sejak kedatangan bangsa Saka itulah, menurut para ahli sejarah kuno, Nusantara mulai mengenal pola kekuasaan raja sebagai titisan Dewa. DR Franz Magnis Suseno SJ, dalam sebuah bukunya menyebut berdasarkan sumber data dari China, sebelum kedatangan para pengembara dari Hindhustan, Nusantara baru mengenal pemimpin lokal yang mengatur soal irigasi.
Kaum brahmana memperkenalkan konsep kerajawian Hindhu dengan berbagai pola hidupnya. Demikian pula dengan sistem perhitungan hari atau kalendernya. Karena itu, sistem penanggalan yang kini sering disebut kalender Jawa, dulu disebut Saka karena berasal dari bangsa Saka di Hindhustan. Pada sekitar abad VI dan VII, mulai dikenal sejumlah kerajaan besar seperti Sriwijaya di Sumatra, dan Mataram Hindhu di Jawa Tengah. Saat itu, Nusantara dikenal dengan sebutan Swarna Dwipa untuk kepulauan Sumatra, dan Jawa Dwipa untuk kepulauan Jawa. Istilah Nusantara baru dikenal kemudian pada zaman Majapahit.
Ketika itu, raja terkenal berasal dari dinasti Syailendra dan Sanjaya. Sampai pada sekitar abad X, peradaban jaya Swarna Dwipa dan Jawa Dwipa berubah total oleh letusan Gunung Merapi. Seluruh peradaban di Jawa Tengah luluh lantak, dan memaksa para raja memindahkan pusat kerajaannya ke Jawa Timur. DR Franz Magnis Suseno, SJ menyebut peristiwa itu terjadi pada tahun 1000 Masehi. Empu Sendok, dikatakannya sebagai raja pertama di Jawa Timur.
Pada sekitar abad itu, mulai muncul raja Hindhu lain dari dinasti Warmadewa, yang berkuasa di Bali. Seperti halnya di Indhia, penganut Hindhu yang terdiri dari beberapa aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Bali Mula atau penduduk asli Bali di Tampurhyang-Batur-Kintamani dan Bali Aga atau penganut Hindhu dari Jawa, saling bertikai. Seorang raja yang berhasil mempersatukan beberapa aliran kepercayaan itu adalah Udayana Warmadewa dan permaisurinya, Gunapriya Darmapatni (988-1011 Masehi). Dari raja besar itu kemudian lahir Prabu Erlangga, yang kelak di kemudian hari menurunkan Jayabhaya dan Jayasabha.
Pecahnya Daha
Gunapriya Darmapatni, ibunda Erlangga adalah putri Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa, raja Daha di Jawa Timur. Daha sering pula disebut Kahuripan. Ketika raja Daha di Jawa Timur tersebut wafat, kakak Gunapriya Darmapatni bernama Kameswara menjadi raja di Daha. Bertahun-tahun kemudian, Erlangga menggantikannya menjadi raja di Daha pada 1019-1085 Masehi, bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Darmawangsa Erlangga Ananta Wikrama Tungga Dewa. Gelar ini menjadi penyebab terputusnya Erlangga dari garis wangsa Warmadewa, dan berujung pada pecahnya Daha menjadi dua, Jenggala dan Kediri.
Dikisahkan, Prabu Erlangga memiliki dua putra. Sri Jayabhaya dan Sri Jayasabha. Khawatir terjadi perang saudara di antara kedua putranya, Erlangga mengutus Empu Baradah menemui ayahandanya di Bali, dan meminta tahta untuk salah seorang putranya. Permintaan itu ditolak, karena Erlangga dianggap telah melepaskan haknya di kerajaan Bali, dengan menjadi raja di Daha. Terpaksa Prabu Erlangga memecah kerajaannya menjadi dua, Daha atau Kediri dan Panjalu atau Jenggala, untuk dibagikan kepada dua putranya.
Garis perbatasan antara dua kerajaan itu lalu dibuat oleh Empu Barada, dengan bangunan dinding batu. Siapa pun yang berani melanggar akan terkena kutukan para dewa. Kutukan Empu Barada. Namun, beberapa tahun setelah Prabu Erlangga wafat, perang saudara tetap berkobar. Kerajaan Daha yang dipimpin oleh Jayasabha akhirnya runtuh, dan Jayabhaya menjadi raja tunggal di Jawa Timur. Kerajaan Daha dan Jenggala kembali menyatu dan berpusat di Kediri.
Jayabhaya menjadi raja besar dan paling terkenal pasca Prabu Erlangga. Keadaan negara aman-tenteram, dan berbagai karya sastra lahir pada zamannya. Kehadiran karya sastra merupakan pertanda kemakmuran negara. Prabu Jayabhaya yang bergelar Sang Mapanji Jayabhaya Sri Dharmaishwara Madus Sudana Wartanindhita memerintah sejak 1135-1157 Masehi, berpusat di Mamenang. Saat itu, dua orang empu yang terkenal adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Kedua Empu tersebut diperintah oleh Prabu Jayabhaya untuk menyadur Kitab Baratayuda yang berbahasa Indhia ke dalam bahasa sehari-hari pada masa itu, Kakawin. Kehebatan kedua Empu tersebut adalah mampu menyalin setiap peristiwa dalam Kitab Baratayuda seolah-olah peristiwanya terjadi di tanah Jawa. Baratayuda menggambarkan perang saudara antara putra Prabu Erlangga. Baratayuda gubahan Empu Sedah dan Empu Panuluh itu diberi surya sengkala: Sangka Kuda Sudda Candrama (1079 Saka atau 1157 Masehi). Selain berarti angka tahun, sengkalan tersebut juga berarti beliau yang berkuda putih mempunyai hati bersih seperti bulan. Tak lain yang dimaksud beliau adalah Prabu Jayabhaya.
Pada zaman Kerajaan Surakarta, Kitab Baratayuda gubahan Empu Sedah dan Empu Panuluh disadur lagi oleh Pujangga Keraton Surakarta, Ki Yosodipuro I (kakek RNg. Ronggowarsito) ke dalam bentuk tembang. Menurut Kitab Negara Kertagama, Baratayuda dalam bahasa Kakawin memang merupakan ungkapan sejarah perang saudara antara Kediri dan Jenggala. Bahkan, kitab tersebut dianggap sebagai apologi atau pembelaan Prabu Jayabhaya atas perbuatannya yang telah membunuh Prabu Hemabupati atau Jayasabha, yang tak lain adalah adiknya sendiri.
Membunuh saudara sendiri membuat Jayabhaya merasa berdosa. Apa lagi jika mengingat pesan Prabu Erlangga dan Empu Barada. Maka, karya sastra hasil gubahan Empu Sedah dan Panuluh merupakan ruwatan atas perbuatan Sang Prabu Jayabhaya. Sejak itu, Jayabhaya mulai menggiatkan kegiatan susastra, sehingga muncul berbagai ramalan ramalan yang terkenal seperti Jongko Joyoboyo dan lainnya. KOKO T.

Sabtu, 30 Oktober 2010

SEPENGGAL FILOSOFI JAWA

1.URIP IKU URUP (HIDUP ITU NYALA): Memberi manfaat bagi kalangan/orang disekitar kita,semakin besar manfaat yg bisa kita berikan akan lebih baik lagi.

2.MEMAYU HAYUNING BHAWANA,AMBRASTA DUR HANGKARA : Kita hidup hrs mengusahakan keselamatan...,kebahagiaan dan kesejahteraan ,serta memberantas sifat angkaramurka serakah dan tamak.

3.SURA DIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI : Segala sifat keras hati,picik,angkara murka, dpt dikalahkan dg kebijaksanaan,kelembutan hati dan kesabaran.

4.NGLURUG TANPO BOLO, MENANG TANPO NGASORAKE LAWAN, SEKTI TANPO AJI, SUGIH TANPO BONDO : Berjuang tanpa perlu membawa massa, Menang tanpa merendahkan atau mempermalu lawan yg kalah, Berwibawa tanpa kekuasaan,kekuatan,jabatan ataupun kekayaan. Kaya tanpa didasari kebendaan ,inilah yg disebut Kekayaan Hakiki(The True Wealth).

5.DATAN SERIK LAMUN KATAMAN, DATAN SUSAH LAMUN KELANGAN : Jangan mudah sakit hati,kecewa ataupun bersedih hati tatkala kehilangan sesuatu.

6.OJO GAMPANG GUMUNAN, OJO GETUNAN, OJO ALEMAN : Jangan mudah heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah terkejut kejut, jangan mudah kolokan/manja.

7.OJO KETUNGKUL MARANG KALUNGGUHAN. KADONYAN LAN KEMAREMAN : Jangan terpukau dg keinginan utk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.

8.OJO KUMINTER MUNDAK KEBLINGER. OJO CIDRA MUNDAK CILAKA : Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah. Dan jangan suka berbuat curang agar tdk celaka.

9.OJO MILIK BARANG KANG MELOK, OJO MANGRO MUNDAK KENDO : Jangan tergiur oleh hal-hal yg nampak mewah.cantik,dan indah.Jangan berfikir mendua agar tdk berkurang niat dan semangatnya.

10.OJO ADIGANG, ADIGUNG ,ADIGUNO : Jangan sok berkuasa, sok paling besar dan sok sakti. diatas langit masi ada langit.

11.MIKUL DUWUR MENDHEM JERO : Pandai menjaga harkat martabat Negara,Bangsa Agama,Orang tua,Suami,Isteri,tdk mengumbar aib ke mana2, dan wajib menjunjung tinggi kehormatan mereka .

Kamis, 14 Oktober 2010

MAMPIR NGOMBE

mampir ngombe
oleh Herdiman Sastrosudirdjo pada 14 Oktober 2010 jam 18:34
Pancen, wong Jawa isih padha ngarani manawa urip ing alam donya iki ibarat mung mampir ngombe. Mung sedhela saka perangane laku sing luwih dawa. Gandheng mung sedhela, mula banjur kudu dimaknani supaya nduwe teges.

Nanging perkara "ngombe" wae, Jawa ya nduwe angger-angger. Ora sasenenge, ora sakuwate. Ana ukuran lan takerane sing bisa dilacak saka pratelan candrane wong ngombe. Upamane, yen ngombene mung sasloki, arane eka padma sari. Yen rong sloki, dwi amartani. Tegese isih ing tataran kang bisa diarani "apik tur murakabi awak".

Nanging yen wis luwih saka kuwi, apa maneh yen wis kliwat takeran, bakal ora becik kedadeane. Upamane yen nganti sepuluh sloki, bakal kaya wangkene yaksa, dasa yaksa wangke. Siang apik? Ya samadya wae.

Temene, wong Jawa uga ora bisa diarani nyingkur saka kadonyan tenan. Wong bisa diarani "wis dadi wong" yen wis kadunungan wisma, wanita, turangga, kukila, lan curiga. Tegese, wis nduwe omah, bojo, tumpakan, manuk utawa oceh-ocehan sing bisa dirungokake, lan keris minangka pusakane. Nanging nut ing jaman kelakone, mesthi wae sing diarani turangga, kukila, lan curiga mau uga ngalami owah-owahan, sanajan konsepsi lan substansine tetep.

Nanging apa yen wis kedunungan kabeh mau banjur ateges bakal mulya? Apa pancen kamulyan iku sing dadi tujuane urip?

Jebule ora. Sora-orane, urip iku ora mung kanggo mburu kamulyan. Sebab, apa tegese kamulyan yen ing kono ora ana katentreman.

Upamane ngene. Apa tegese omah gedhe magrong-magrong, bojo bebasan ayune ora kalah karo widadari, arep menyang ngendi-ngendi uga wis sumadiya tumpakan sing nduwe gengsi, kanggo mat-matan lan rungon-rungon ing omah uga ana, klebu ìpusakaî kayadene titel lan gelar ing jaman saiki (kapara katebelece!), nanging kabeh mau mung marakake turu ora bisa angler lan menyang endi-endi rumangsa ora aman?

Pancen, kanthi samubarang mau, bakal luwih gampang anggone nanjakake uripe. Nanging sisip sembire, yen kurang prayitnane, kamulyan mau mung bakal njlomprongake marang kasangsarane jiwa.


Sajrone urip saben dinane, manawa ana wong sing ngoyak bandha donya wae, bakal dianggep ngaya uripe. Tur iki uga diarani dudu Jawa. Sebab, urip Jawa iku tentrem lan laras sajroning batin, jalaran bab-bab sing asipat materi dianggep ora bisa marakake marang ketentreman.

Mula, ora nggumunake manawa aluwung "mangan ora mangan kumpul" timbang "crah agawe bubrah". Apa tegese padha rebut rejeki yen tundhone mung gawe pethal anggone padha paseduluran utawa memitran. Kosokbaline, aluwung tetep padha kumpul, antarane "sing mangan" lan "sing ora mangan", jalaran ing kono iku keguyuban lan kerukuan bisa thukul sarta ngrembaka.

Kanthi rada ekstrem, gambaran mau uga kawengku ing pratelan "tinimbang numpak Mercy mbrebes mili aluwung mikul dhawet ura-ura". Sepisan maneh, iki saya nandhesake manawa bandha-donya iku ora perlu, sing luwih wigati tentreme ati.

Luwih-luwih maneh, isih ana unen-unen "nyawa mung gadhuhan, bandha donya mung sampiran". Apa sebabe? Bandha donya kuwi bisa sirna, drajad-pangkat uga bisa kliwat.

Yen dibacutake maneh, ana uga kang mratelaake manawa makuthaning urip iku ora dumunung ana ing bandha donya, kalungguhan, drajad-pangkat, lan samubarang kang didarbeni.

Temene, nampik marang gebyaring kadonyan, mburu kesenengan sing mung didhasari dening materi, ora mung ana ing Jawa wae. Ing jagading Islam, upamane, kang diarani wong sufi kuwi ora liya wong kang sarwa prasaja uripe sarta nyingkur marang gebyaring kadonyan.

Awit apa? Jalarane, mbokmanawa wae, saksapa kang ora sarwa mubra-mubra, sing apa-apa keturutan, adhakane padha lali ing purwa duksina. Kosok baline, sok sapa sing lagi nandhang kecingkrangan, apa-apane sarwa kurang, lumrahe banjur padha ngrerepa, cedhak karo Sing Mahakuwasa.

Kejaba saka iku, melik marang kadonyan iku temene ora ana watese. Kapara, keturutan siji bakal marakake kepengin liyane. Mangkono sapiturute. Apamaneh adhakane, ing babagan badha-donya, angel yen wong kuwi dikongkon ndhingkluk. Lumrahe malah padha ndhangak, nyawang sing luwih dhuwur.

Mula ora jeneng aneh yen wong Jawa banjur nduwe unen-unen "aluwung mikul dhawet nanging sinambi ura-ura tinimbang numpak mercy nanging karo mbrebes mili" mau. Aluwung badan wadhag iki katone rekasa, nanging batin rumangsa mulya.

Bisa dikompliti maneh pratelan mau nganggo pratelan-pratelan liyane. Upamane "sugih tanpa bandha lan sekti tanpa aji". Tegese sacara harfiah, sugih kuwi ora kudu bandha sing dadi ukurane. Wong bisa wae rumangsa sugih tanpa kedunungan raja-brana. Semono uga ing bab kasekten. Kapara marga ora kadunungan mau, banjur dheweke malah rumangsa sugih.

Nanging pratelan mau apa ora mung kanggo ngeyem-yemi marang sing pancen ora nduwe apa-apa wae? Apa ya kelakon, wong bisa mulya-tentrem lair-batin yen salah siji ing antarane loro, embuh laire embuh batine, embuh kadonyane apa keakheratane, ana sing gothang utawa kurang?

Mesthi wae ora jeneng srakah yen wong banjur kepengin bisa "numpak mercy nanging tetep sinambi ura-ura"? Ora mung merga akomodatif marang gebyare urip sing saya kapitalis. Sebab, kanthi bisa ìnumpak mercyî lan ìura-uraî temen ing kono wong bisa nindakake urip kanthi laras lan jumbuh. Samadya!

Jumat, 13 Agustus 2010

RENUNGAN TENTANG KEPEMIMPINAN

Oleh : Sri Sultan Hamengku Buwana X
Perihal falsafah kepemimpinan Jawa, misalnya dapat kita telaah dari ajaran: “Manunggaling Kawula-Gusti”, yang mengandung dua substansi: kepemimpinan dan kerakyatan. Hal ini dapat ditunjukkan dari perwatakan patriotis Sang Amurwabumi (gelar Ken Arok) yang menggambarkan sintese sikap “bhairawa-anoraga” atau “perkasa di luar, lembut di dalam”. Di mana sikapnya selalu “menunjuk dan berakar ke bumi” atau “bhumi sparsa mudra”, yang intinya adalah kepemimpinan yang berorientasi kerakyatan yang memiliki komitmen:
“Setia pada janji, berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik dan sosial”.
Sedangkan prinsip-prinsip kepemimpinan Sultan Agung diungkapkan lewat: “Serat Sastra-Gendhing”, yang memuat tujuh amanah.
Butir pertama, “Swadana Maharjeng-tursita”, seorang pemimpin haruslah sosok intelektual, berilmu, jujur dan pandai menjaga nama, mampu menjalin komunikasi atas dasar prinsip kemandirian.
Kedua, “Bahni-bahna Amurbeng-jurit”, selalu berada di depan dengan memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran.
Ketiga, “Rukti-setya Garba-rukmi”, bertekad bulat menghimpun segala daya dan potensi, guna kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa.
Keempat, “Sripandayasih-Krami”, bertekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi masyarakat luas.
Kelima, “Galugana-Hasta”, mengembangkan seni-sastra, seni-suara dan seni tari, guna mengisi peradaban bangsa.
Keenam, “Stiranggana-Cita”, sebagai pelestari dan pengembang budaya, pencetus sinar pencerahan ilmu dan pembawa obor kebahagiaan umat manusia. Dan yang terakhir, butir
ketujuh, “Smara-bhumi Adi-manggala”, tekad juang lestari untuk menjadi pelopor pemersatu dari pelbagai kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam perdamaian di mayapada.
Ada juga ajaran kepemimpinan yang lain, misalnya, “Serat Wulang Jayalengkara” yang menyebutkan, seorang penguasa haruslah memiliki watak “Wong Catur” (empat hal), yakni: retna, estri, curiga, dan paksi. Retna atau permata, wataknya adalah pengayom dan pengayem, karena khasiat batu-permata adalah untuk memberikan ketentraman dan melindungi diri. Watak estri atau wanita, adalah berbudi luhur, bersifat sabar, bersikap santun, mengalahkan tanpa kekerasan atau pandai berdiplomasi. Sedangkan curiga atau keris, seorang pemimpin haruslah memiliki ketajaman olah-pikir, dalam menetapkan policy dan strategi di bidang apa pun. Terakhir simbol paksi atau burung, mengisyaratkan watak yang bebas terbang kemana pun, agar dapat bertindak independen tidak terikat oleh kepentingan satu golongan, sehingga pendapatnya pun bisa menyejukkan semua lapisan masyarakat.
Ini sekadar menunjukkan contoh, betapa kayanya piwulang para leluhur, selain yang sudah teramat masyhur, yang termuat dalam episode Astha-Brata. Atau yang lain, kepemimpinan ideal berwatak Pandawa-Lima, yang dikawal dengan kesetiaan dan keikhlasan oleh seorang sosok Semar dan pana-kawan lainnya anak Semar. Di mana deskripsi, derivasi dan penjabaran serta aplikasinya dalam suatu kepemimpinan aktual mengundang kajian para budayawan dan cendekiawan kita.
Sementara untuk memahami keberadaan kita sekarang, mungkin ada baiknya jika membuka lembaran Babad Giyanti. Tatkala Pangeran Mangkubumi sebelum jumeneng Sri Sultan Hamengku Buwono I bergerilya di kawasan Kedu dan Kebanaran, pernah berujar secara bersahaja, yang dikutip dalam Babad Giyanti: “Satuhune Sri Narapati Mangunahnya Brangti-Wijayanti”. Ucapan itu menunjukkan keprihatinan beliau, bahwa kultur Barat sebagai akses gencarnya politik kolonialisme Belanda yang mencekik, niscaya akan membuat raja-raja Jawa terkena demam asmara dan lemah-lunglai tanpa daya.
Keadaan ini harus dihadapi dengan “wijayanti”, untuk bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. Maka dianjurkannya: “puwarane sung awerdi, gagat-gagat wiyati”, untuk menjadi pemenang, seorang raja haruslah meneladani sikap tulus tanpa pamrih, agar bisa menyambut cerahnya hari esok yang laksana biru nirmala.
Ungkapan ini rasanya amat relevan dengan keadaan sekarang ini, karena ada paralelisme histori, di saat kita menghadapi hantaman derasnya arus globalisasi, yang mengharuskan kita untuk tidak hanya berpangku tangan, melainkan harus bersiap diri untuk lebih meningkatkan kualitas dalam semua aspek kehidupan. Harus “eling lan waspada” menghadapi berbagai godaan dan cobaan di zaman Kala-tidha ini, di mana banyak hal yang diliputi oleh keadaan yang serba “tida-tida” – penuh was-was, keraguan, dan ketidakpastian.

Selasa, 20 Juli 2010

FILSAFAH AKSARA JAWA

1. ha na ca ra ka bermakna filosofi utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan ).
2. da ta sa wa la mempunyai makna manusia setelah diciptakan sampai dengan data ” saatnya ( dipanggil ) ” tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan
3. pa dha ja ya nya bermakna menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh, cocok ” tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu ” menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan ” sekedar menang ” atau menang tidak sportif.
4. ma ga ba tha nga bermakna menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

Setelah kita mengetahui makna perbaris maka akan kita bahas makna perhuruf, makna filosofi per huruf dikemukakan oleh Pakubuwono IX, berikut adalah makna filosofi per huruf:
Ha Hana hurip wening suci – adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci

Na Nur candra,gaib candra,warsitaning candara-pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi
Ca Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal

Ra Rasaingsun handulusih – rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani

Ka Karsaningsun memayuhayuning bawana – hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam

Da Dumadining dzat kang tanpa winangenan – menerima hidup apa adanya

Ta Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa – mendasar ,totalitas,satu visi, ketelitian dalam memandang hidup

Sa Sifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan

Wa Wujud hana tan kena kinira – ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas

La Lir handaya paseban jati – mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi

Pa Papan kang tanpa kiblat – Hakekat Allah yang ada disegala arah

Dha Dhuwur wekasane endek wiwitane – Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar

Ja Jumbuhing kawula lan Gusti -selalu berusaha menyatu -memahami kehendak Nya

Ya Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi – yakin atas titah /kodrat Illahi

Nya Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki – memahami kodrat kehidupan

Ma Madep mantep manembah mring Ilahi – yakin – mantap dalam menyembah Ilahi

Ga Guru sejati sing muruki – belajar pada guru nurani

Ba Bayu sejati kang andalani – menyelaraskan diri pada gerak alam

Tha Tukul saka niat – sesuatu harus dimulai – tumbuh dari niatan

Nga Ngracut busananing manungso – melepaskan egoisme pribadi -manusia

Sebuah ide cemerlang dalam penyusunan huruf jawa dikemukakan oleh Prof.Dr. Damardjati Supadjar, beliau menyusun susunan huruf huruf yang biasanya seperti pada tulisan diatas menjadi:
ka ma ba tha ra
ga da sa nya ta
na la pa dha nga
ja wa ha ca ya
Susunan huruf Huruf jawa diatas sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia pada umunya dan jawa pada khususnya, makna perhuruf tetap sama namun makna perbaris berbeda, berikut adalah makna perbaris susunan diatas


ka ma ba tha ra mempunyai makna filosofi hendaknya wiji/biji/sperma itu jangan di sia siakan dalam arti banyak sekali tempat tempat prostitusi di negeri kita tercinta ini yang semuanya menawarkan untuk mengecer-ecer wiji secara berbayar, semuanya itu hendaknya segera diakhiri mengingat satu tetes wiji itu sama nilainya dengan 100 tetes darah bagi yang percaya, hendaknya pula energi yg ada disekitar pusar kita di purba diri untuk di alirkan ke atas ubun ubun atau dari cakra pusar ke cakra ubun ubun bukannya malah dialirkan kebawah melalui kemaluan atau mengecer-ecer wiji. didalam kearifan jawa ada istilah titis, tetes, Tetes, titis itu maksudnya tepat sasaran, tetes itu maksudnya menetes, sedangkan tetes yang kedua maksudnya tetas, apabila digabungkan ketiganya bisa ditarik kesimpulan perlu untuk menitis memusatkan pikiran dan hati supaya tetes yg akan ditetas itu menjadi pribadi pilihan, maka tidak heran apabila ahli meditasi itu apabila berhubungan badan jarang sekali ejakulasi karena energi yang biasanya disalurkan kebawah menjadi disalurkan keatas, para ahli meditasi itu hanya akan tetes apabila pada waktu akan membuahi, itupun cuma sedikit atau seperlunya tapi mempunyai kualitas yang unggul. Disisi lain titis tetes tetes itu dimaksudkan menitiskan pada bathin kita untuk melahirkan diri yang berkesadaran tinggi atau berkesadaran rohani, dengan kata lain diri kita yang biasanya berkesadaran jasmani yang penuh ketergantungan duniawi bertransformasi ke kesadaran rohani yang bebas dari polusi dunia, inilah makna hijrah yang sebenarnya.

ga da sa nya ta mempunyai makna gada itu bermakna senjata gada, pada kenyataannya makna filosofi yang terkandung didalamnya adalah apabila kita sudah melakukan titis tetes secara batiniyah maka kita akan mempunyai senjata yang nyata dalam hal untuk menghadapi krisis multidimensi yaitu diri yang sudah meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia dan inilah pribadi pilihan

na la pa dha nga mempunyai arti hati yang terang, orang yang sudah sadar rohani itu hatinya terang sebab tiada suatu apapun yang menghalangi hatinya dari pancaran Nur illahi, hati orang yang sudah mempunyai kesadaran rohani bebas dari polusi dunia baik berupa ketergantungan materi maupun sifat keegoisan yang tinggi , suka mengaku-aku sepihak dalam kata lain ego yg sombong tidak mau sujud kepadaNya.
ja wa ha ca ya mempunyai arti apabila hati kita sudah terang benderang karena tiada satupun yg mengotorinya maka "hujan' cahaya maha cahaya Nur illahi akan terjadi dan menyinari setiap pribadi pilihan tersebut untuk dipantulkan ke pribadi yang lain dan juga makhluk disekitarnya dalam bentuk kerja nyata secara ikhlas karena Tuhan bukan karena yang lainnya, perlu diketahui nur Tuhan itu indah tanpa batas, hanya ego kita yang menghalanginya, apabila tidak ada lagi ego di diri kita maka tidak ada lagi yang menghalanginya.

1. kesimpulan
Filsafat hidup bedasarkan akasara jawa yaitu
Adanya kehidupan manusia yang diciptakan oleh Tuhan YME, yang diutus untuk memelihara alam lingkungan dengan berpedoman pada tuntunan –Nya, sehingga manusia tidak banyak berbuat salah. Pedoman yang diberikan oleh Tuhan YME itu tidak pernah salah sehingga dapat dijadikan sebagai pegangan hidup. Karena didalam diri manusia mempunyai hati nurani yang dapat tergoda oleh berbagai nafsu , maka sering timbul pertentangan dalam dirinya. Oleh karena itu manusia dianjurkan selalu memohon petunjuk kepada Tuhan YME agar senantiasa berada dalam jalan kebenaran. Sebab, pada akhirnya manusia akan menjadi mayat / meninggal ketika sukma atau ruh kita meninggalkan raga/jasmani kita. Sesungguhnya kita tidak akan hidup selamanya dan pada akhirnya akan kembali juga kepada Tuhan YME. Oleh karena itu kita harus senantiasa mempersiapkan bekal untuk menghadap Tuhan YME.
2. Saran .
Disarankan kepada setiap manusia sebagai berikut:
1. Untuk lebih memperkuat iman dan taqwa kita kepada Tuhan YME, dengan menjalankan perintah- Nya dan Larangan- Nya.
2. Manusia sebagai makluk social diharapakan dapat berhubungan yang baik dengan manusia yang lainnya.
3. Manusia senantiasa menjaga kelestarian lingkungan ( baik tumbuhan maupun hewan).

DAFTAR PUSTAKA
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan.1995.Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI.Jakarta:Departemen Pendidikan dan kebudayaan.

Sabtu, 19 Juni 2010

Pangerten SEDULUR PAPAT LIMA PANCER

Pethikan saka tulisane Mas ferdi Rm ( NGURI URI BASA JAWA )

Ana kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira Nganakaken saciptane Kakang Kawah puniku Kang rumeksa ing awak mami Anekakake sedya Ing kuwasanipun Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi laku kuwasanireki Angenakken pangarah Ponang Getih ing rahina wengi Ngrerewangi ulah kang kuwasa Andadekaken karsane Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sabawa mami Nuruti ing panedha Kuwasanireku Jangkep kadang ingsun papat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud ingwang.

Orang Jawa tradisional percaya eksistensi dari sedulur papat ( saudara empat ) yang selalu menyertai seseorang dimana saja dan kapan saja, selama orang itu hidup didunia. Mereka memang ditugaskan oleh kekuasaan alam untuk selalu dengan setia membantu, mereka tidak punya badan jasmani, tetapi ada baik dan kita juga harus mempunyai hubungan yang ... Lihat Selengkapnyaserasi dengan mereka yaitu :
1. Kakang kawah, saudara tua kawah, dia keluar dari gua garba ibu sebelum kamu, tempatnya di timur warnanya putih.
2. Adi ari-ari, adik ari-ari, dia dikeluarkan dari gua garba ibu sesudah kamu, tempatnya di barat warnanya kuning.
3. Getih, darah yang keluar dari gua garba ibu sewaktu melahirkan, tempatnya di selatan warnanya merah
4. Puser, pusar yang dipotong sesudah kelahiranmu, tempatnya di utara warnanya hitam
Selain sedulur papat diatas, yang lain adalah Kalima Pancer, pancer kelima itulah badan jasmani kamu. Merekalah yang disebut sedulur papat kalimo pancer, mereka ada karena kamu ada. Sementara orang menyebut mereka keblat papat lima tengah, ( empat jurusan yang kelima ada ditengah ). Mereka berlima itu dilahirkan melalui ibu, mereka itu adalah Mar dan Marti, berbentuk udara. Mar adalah udara, yang dihasilkan karena perjuangan ibu saat melahirkan bayi, sedangkan Marti adalah udara yang merupakan rasa ibu sesudah selamat melahirkan si jabang bayi.
Secara mistis Mar dan Marti ini warnanya putih dan kuning, kita bisa meminta bantuan Mar dan Marti hanya sesudah kita melaksankan tapa brata ( laku spiritul yang sungguh-sungguh


SEDULUR PAPAT LIMA PANCER DALAM AGAMA ISLAM.

Setelah Islam masuk P.JAWA kepercayaan tentang saudara empat ini dipadukan dengan 4 malaikat di dunia Islam yaitu Jibril, Mikail , Isrofil, Ijro'il. Dan oleh ajaran sufi tertentu di sejajarkan denga ke'empat sifat nafsu yaitu: Nafsu Amarah, Lawwamah, Sufiah dan Mutmainah.
Ada kutipan Ayat dalam Al-Quran yang perlu di simak..

" In Kullu nafsin lamma alayha hafizh" > 'Setiap diri niscaya ada penjaganya' Atau "Wa huwa al-qahir fawq iba'dih wa yusril alaykum hafazhah hatta idza ja'a ahadakum al-mawt tawaffathu rusuluna wahum la yufarrithun" >' Dialah yang berkuasa atas semua hambanya. Dan dia mengutus kepada kalian Penjaga-Penjaga untuk melindungimu. Jika seseorang sudah waktunya mati, maka utusan-utusan kami itu mewafatkannya tanpa keliru"

sedulur papat kelimo pancer artine sedulur papat barengane lair terdiri dari ari2, banyu kawah , getih putih karo getih abang, dene limo pancer yo pancering urip sek dadi manungso iki sek jenenge pancer

Sabtu, 01 Mei 2010

MENGENAL KERIS DAN KEGUNAANYA:

Keris adalah sejenis pedang pendek yang berasal dari pulau Jawa, Indonesia.
Keris purba telah digunakan antara abad ke-9 dan 14. Selain digunakan sebagai senjata,keris juga sering dianggap memiliki kekuatan supranatural. Keris terbagi menjadi tiga bagian yaitu mata, hulu, Dan sarung. Beberapa jenis keris memiliki mata pedang yang berkelok-kelok. Senjata ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional, seperti keris Mpu Gandring dalam legenda Ken Arok Dan Ken Dedes.

Keris sendiri sebenarnya adalah senjata khas yang digunakan oleh daerah-daerah yang memiliki rumpun Melayu atau bangsa Melayu.Pada saat ini, Keberadaan Keris sangat umum dikenal di daerah Indonesia terutama di daerah pulau Jawa dan Sumatra, Malaysia, Brunei, Thailand dan Filipina khususnya di daerah Filipina selatan (Pulau Mindanao). Namun, bila dibandingkan dengan Indonesia dan Malaysia, keberadaan keris dan pembuatnya di Filipina telah menjadi hal yang sangat langka dan bahkan hampir punah.

Tata cara penggunaan keris juga berbeda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang. Sementara di Sumatra, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan. Sebenarnya keris sendiri memiliki berbagai macam bentuk, ada yang bermata berkelok kelok (7, 9 bahkan 13), ada pula yang bermata lurus seperti di daerah Sumatera. Selain itu ada lagi keris yang memliki kelok tunggal seperti halnya rencong di Aceh atau Badik di Sulawesi.


Bagian-bagian keris

Sebagian ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau bahasa awamnya adalah seperti mata pisau. Tetapi karena keris mempunyai kelengkapan lainnya, yaitu wrangka (sarung) dan bagian pegangan keris atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya disebut keris.

* Pegangan keris

Pegangan keris ini bermacam-macam motifnya ,untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka, patung penari , pertapa, hutan ,dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia .Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau Lingga, danuntuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu. Untuk pegangan keris Jawa,secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul.

* Wrangka atau Rangka

Wrangka, rangka atau sarung keris adalah bagian (kelengkapan) keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, karena bagian wrangka inilah yang langsung dilihat oleh umum . Wrangka yang mula-mula (sebagian besar) dibuat dari bahan kayu (jati , cendana, timoho , kemuning, dll) , kemudian sesuai dengan perkembangan zaman maka terjadi perubahan fungsi wrangka (sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya ). Kemudian bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading. secara garis besar terdapat dua macam wrangka, yaitu jenis wrangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong dan gandek. Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkimpoian, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang). Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman , pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana. Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan ,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran ) Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok .



Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak, emas . Untuk daerah diluar Jawa (kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian. Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat , serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

* Wilah

Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul , kebo tedan, pudak sitegal, dll. Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.

Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled , bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacammacam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.

Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija ,atau keris tidak lazim .


1. Landep Ngadjeng
2. Landep Wingking
3. Ada
4. Gusen
5. Sogokan Wingking
6. Sogokan Ngadjeng
7. Sorsoran
8. Adeg-Adeg
9. Greneng
10. Titil
11. Ganjah
12. Peksi
13. Wideng
14. Ankaan
15. Tikel Alis
16. Mata
17. Djenggot
18. Telale Gadjah
19. Djalu Memet
20. Lambe Gadjah
21. Srawejan
22. Gandik
23. Pejetan
24. Tingil
25. Ri-Pandan


Sejarah Asal keris

Sejarah Asal keris yang kita kenal saat ini masih belum terjelaskan betul. Relief candi di Jawa lebih banyak menunjukkan ksatria-ksatria dengan senjata yang lebih banyak unsur Indianya.

Keris Budha dan pengaruh India-Tiongkok

Kerajaan-kerajaan awal Indonesia sangat terpengaruh oleh budaya Budha dan Hindu. Candi di Jawa tengah adalah sumber utama mengenai budaya zaman tersebut. Yang mengejutkan adalah sedikitnya penggunaan keris atau sesuatu yang serupa dengannya. Relief di Borobudur tidak menunjukkan pisau belati yang mirip dengan keris. Dari penemuan arkeologis banyak ahli yang setuju bahwa proto-keris berbentuk pisau lurus dengan bilah tebal dan lebar. Salah satu keris tipe ini adalah keris milik keluarga Knaud, didapat dari Sultan Paku Alam V. Keris ini relief di permukaannya yang berisi epik Ramayana dan terdapat tahun Jawa 1264 (1342Masehi), meski ada yang meragukan penanggalannya. Pengaruh kebudayaan Tiongkok mungkin masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan penghubung antara kebudayaan Tiongkok dan dunia Melayu. Terdapat keris sajen yang memiliki bentuk gagang manusia sama dengan belati Dongson.

Keris “Modern”

Keris yang saat ini kita kenal adalah hasil proses evolusi yang panjang. Keris modern yang dikenal saat ini adalah belati penusuk yang unik. Keris memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) dan Kerajaan Mataram baru (abad ke-17-18). Pemerhati dan kolektor keris lebih senang menggolongkannya sebagai “keris kuno” dan ”keris baru” yang istilahnya disebut nem-neman ( muda usia atau baru ). Prinsip pengamatannya adalah “keris kuno” yang dibuat sebelum abad 19 masih menggunakan bahan bijih logam mentah yang diambil dari sumber alam-tambang-meteor ( karena belum ada pabrik peleburan bijih besi, perak, nikel dll), sehingga logam yang dipakai masih mengandung banyak jenis logam campuran lainnya, seperti bijih besinya mengandung titanium, cobalt, perak, timah putih, nikel, tembaga dll. Sedangkan keris baru ( setelah abad 19 ) biasanya hanya menggunakan bahan besi, baja dan nikel dari hasil peleburan biji besi, atau besi bekas ( per sparepart kendaraan, besi jembatan, besi rel kereta api dll ) yang rata-rata adalah olahan pabrik, sehingga kemurniannya terjamin atau sedikit sekali kemungkinannya mengandung logam jenis lainnya.



Misalkan penelitian Haryono Arumbinang, Sudyartomo dan Budi Santosa ( sarjana nuklir BATAN Yogjakarta ) pada era 1990, menunjukkan bahwa sebilah keris dengan tangguh Tuban, dapur Tilam Upih dan pamor Beras Wutah ternyata mengandung besi (fe) , arsenikum (warangan )dan Titanium (Ti), menurut peneliti tersebut bahwa keris tersebut adalah ”keris kuno” , karena unsur logam titanium ,baru ditemukan sebagai unsur logam mandiri pada sekitar tahun 1940, dan logam yang kekerasannya melebihi baja namun jauh lebih ringan dari besi, banyak digunakan sebagai alat transportasi modern (pesawat terbang, pesawat luar angkasa) ataupun roket, jadi pada saat itu teknologi tersebut belum hadir di Indonesia. Titanium banyak diketemukan pada batu meteorit dan pasir besi biasanya berasal dari daerah Pantai Selatan dan juga Sulawesi. Dari 14 keris yang diteliti , rata-rata mengandung banyak logam campuran jenis lain seperti cromium,stanum, stibinium, perak, tembaga dan seng, sebanyak 13 keris tersebut mengandung titanium dan hanya satu keris yang mengandung nikel. Keris baru dapat langsung diketahui kandungan jenis logamnya karena para Mpu ( pengrajin keris) membeli bahan bakunya di toko besi, seperti besi, nikel, kuningan dll. Mereka tidak menggunakan bahan dari bijih besi mentah ( misalkan diambil dari pertambangan ) atau batu meteorit , sehingga tidak perlu dianalisis dengan isotop radioaktif. Sehingga kalau ada keris yang dicurigai sebagai hasil rekayasa , atau keris baru yang berpenampilan keris kuno maka penelitian akan mudah mengungkapkannya.

Keris Pusaka terkenal


* Keris Mpu Gandring

* Keris Pusaka Setan Kober

* Keris Kyai Sengkelat

* Keris Pusaka Nagasastra Sabuk Inten

* Keris Kyai Carubuk

* Keris Kyai Condong Campur




Sumber :

http://haxims.blogspot.com/2010/01/mengenal-keris-dan-kegunaannya.html

http://inmystery.blogspot.com/2010/03/arti-keris-dan-kegunaannya.html

Senin, 12 April 2010

PENGAMALAN PANCASILA ( P4 )

45
Butir Pengamalan Pancasila seperti yang tertuang dalam P4 (Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila) pada Tap MPR No. II/MPR/1978. ini semoga dapat
mengingatkan kita akan nilai – nilai kebaikan yang patut kita amalkan dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.... Lihat Selengkapnya
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia
1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
6. Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak orang lain.
5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
9. Suka bekerja keras.
10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Bagaimana membuat nilai-nilai ini bisa kembali menjadi pedoman dan pengamalan dalam keseharian kehidupan kita?

Rabu, 07 April 2010

SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA

Pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuahpanitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk danmemeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggotadiberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai de......ngantanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapanorang, yaitu:

1. Ir. Soekarno
2. Ki Bagus Hadikusumo
3. K.H. Wachid Hasjim
4. Mr. Muh. Yamin
5. M. Sutardjo Kartohadikusumo ... Lihat Selengkapnya... Lihat Selengkapnya
6. Mr. A.A. Maramis
7. R. Otto Iskandar Dinata
8. Drs. Muh. Hatta

Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Muh. Hatta
3. Mr. A.A. Maramis
4. K.H. Wachid Hasyim
5. Abdul Kahar Muzakkir
6. Abikusno Tjokrosujoso
7. H. Agus Salim
8. Mr. Ahmad Subardjo
9. Mr. Muh. Yamin

Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”. Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itulah Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama
1. Mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya)
2.Mmemilih Presiden dan Wakil Presiden.

Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya. Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan.
Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo,
KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan.
Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha Esa”.

Adapun bunyi Pembukaan UUD1945 selengkapnya sebagai berikut:
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PEMBUKAAN (Preambule)
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan de-ngan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidup-an bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadil-an sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada

Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan
Ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Selasa, 16 Maret 2010

PUJAKESUMA BUKAN HANYA UNTUK ORANG JAWA

"Awalnya Pujakesuma itu berarti Putra Jawa Kelahiran/Kedudukan
Sumatera. Tetapi, kini, organisasi ini terus berkembang sehingga
putra Jawa yang keluyuran di Sumatera pun bisa masuk.
Baru pacaran dengan orang Jawa saja sudah boleh menjadi anggota.
Bahkan, sama sekali tidak ada hubungan dengan etnis Jawa, tetapi mencintai budaya
Jawa pun bisa menjadi anggota Pujakesuma. Pujakesuma sekalipun
berawal dari keguyuban suku Jawa di Sumatera, tetapi prinsipnya
justru lintas etnis," tutur Ketua Pujakesuma, Kasim Siyo.

Jadi, tidak perlu heran, kalau banyak orang Batak, Melayu, bahkan
Cina dan Italia yang masuk menjadi anggota Pujakesuma. Dari
prinsipnya sendiri Pujakesuma memang tidak berdasarkan ras, tetapi
kecintaan akan budaya Jawa. Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangganya (AD/ART) tertulis, anggota Pujakesuma adalah warga negara
Indonesia keturunan Jawa dan berkedudukan di Sumatera atau suku
lain/simpatisan.
Untuk menjadi anggota Pujakesuma sendiri tidak perlu
mendaftar, karena semua yang bersimpati adalah anggota Pujakesuma.
Sedangkan yang terdaftar hanyalah pengurus saja.
Oleh karena itu, ia yakin Pujakesuma tidak akan terjebak dalam
fanatisme etnis yang picik. Sebab, menurutnya Pujakesuma lebih
merupakan gerakan budaya yang didasari kerinduan masyarakat Jawa
perantauan akan budaya leluhurnya.
"Kami justru berharap, Pujakesuma menjadi salah satu rantai
penjalin persatuan antar-etnis, antarkultur.
Buktinya, Pujakesuma bersifat terbuka untuk siapa saja.
Banyak pengurus Pujakesuma berasal dari etnis lain, bahkan Ketua DPD I Generasi Muda Pujakesuma Sumatera Utara pun bermarga Sipahutar," katanya.
Bergabungnya anggota masyarakat dari etnis lain ini oleh pengurus
Pujakesuma diterima dengan terbuka, bahkan antusias. "Yang jelas
dalam kecenderungan fanatisme etnis yang tengah menjadi-jadi ini kami
tidak mau menjadi bagian dari masalah, tetapi kami berharap
Pujakesuma menjadi solusi dari masalah," tutur Danu, Wakil Sekretaris
Generasi Muda Pujakesuma.

Selasa, 23 Februari 2010

Ginayung Siwur Rerengkuh Nyawiji Saduluran

MOYO MARTOYO
(PA'DE MOYO)


Lahir : 27 Pebruari 1960
Setu Pon
01. Tanggal Jawa : 29 Ruwah 1891 - Alip
02. Tanggal Hijriah : 29 Syaban 1379 (H)
03. Windu-Lambang : Windu : Sancaya, Lambang : Langkir
04. Nama Wuku : Sinta
05. Sadwara : Tunglé
06. Padewan : Kålå
07. Padangon : Kérangan
08. Pancasuda : Wasésa Sêgara
09. Rakam : Nuju Pati
10. Paarasan : Lakuning Banyu

Perwatakan Weton : Setu Pon
1. Dino : Setu
Membuat orang merasa senang, susah ditebak.
2. Pasaran : Pon
Bicaranya banyak diterima orang, suka tinggal di rumah, tidak mau memakan yang bukan kepunyaannya sendiri, suka marah kepada keluarganya, jalan pikirannya sering berbeda dengan pandangan umum.
Suka berbantahan, berani kepada atasan.
Rejekinya cukup.
3. Padewan : Kala
Pemarah, suka mengganggu orang lain, suka berbohong.
4. Sadwara : Tungle
( Daun ) Bertanggung jawab namun suka membantah.
5. Padangon : Kerangan
( Matahari ) Menghidupi (banyak rejeki), menerangi (luas wawasan).
6. Pancasuda : Wasesa Segara
Pemaaf, suka menolong, berhati mulia.
7. Rakam : Nuju Pati
Banyak sial dan apesnya.
8. Paarasan : Lakuning Banyu
Teduh, murah hati, murah rejeki.

Menetap di Palembang , Indonesia

Kota Asal :
Panggungsari, Durenan,
Trenggalek, Jawa Timur
Indonesia

Status Hubungan
Menikah dengan
Supinah

Anak-anak :
Nopri Eko Budi Prasetyo
Febri Dwi Nurcholis
Septiyan Tri Cahyo Nugroho
Aditya Putra Pamungkas
Muhammad Ragil Saputro

Pandangan Politik : NETRAL
Agama : Islam seutuhnya

ORGANISASI
Ketua Dewan Pengurus Wilayah
( DPW )
Paguyuban Keluarga Besar
PUJAKESUMA
Prov. Sumatera Selatan
Pereode :
( 1988 - 2003 )
( 2003 - 2008 )
( 2008 - 2013 )

Kutipan Favorit :
SURO DIRO DJAYANINGRAT
LEBUR DENENG PANGASTUTI


Informasi Kontak
Email :
puja_kesuma_palembang@yahoo.com
Nomor Ponsel :
0813 6745 9478
0813 6724 6262

Alamat :
Perumahan Griya Damai Indah
Jalan Wijaya Kesuma Blok Z No 4
Tlp : 0711 - 824 120
Palembang, Indonesia 30761

Lembaga/Perusahaan :
CV. PUJA KESUMA GROUP
Palembang, Indonesia





KELUARGA BESAR PAGUYUPAN PUJAKESUMA SUMATERA SELATAN

  PUJA KESUMAHalaman Muka.