SUGENG RAWUH - SELAMAT DATANG - DI SITUS POEDJA KESOEMA - UNTUK BELAJAR SERTA IKUT MELESTARIKAN BUDAYA ADI LUHUNG BANGSA INDONESIA

Sinambi midangetaken Gendhing Jawa

Jumat, 13 Agustus 2010

RENUNGAN TENTANG KEPEMIMPINAN

Oleh : Sri Sultan Hamengku Buwana X
Perihal falsafah kepemimpinan Jawa, misalnya dapat kita telaah dari ajaran: “Manunggaling Kawula-Gusti”, yang mengandung dua substansi: kepemimpinan dan kerakyatan. Hal ini dapat ditunjukkan dari perwatakan patriotis Sang Amurwabumi (gelar Ken Arok) yang menggambarkan sintese sikap “bhairawa-anoraga” atau “perkasa di luar, lembut di dalam”. Di mana sikapnya selalu “menunjuk dan berakar ke bumi” atau “bhumi sparsa mudra”, yang intinya adalah kepemimpinan yang berorientasi kerakyatan yang memiliki komitmen:
“Setia pada janji, berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik dan sosial”.
Sedangkan prinsip-prinsip kepemimpinan Sultan Agung diungkapkan lewat: “Serat Sastra-Gendhing”, yang memuat tujuh amanah.
Butir pertama, “Swadana Maharjeng-tursita”, seorang pemimpin haruslah sosok intelektual, berilmu, jujur dan pandai menjaga nama, mampu menjalin komunikasi atas dasar prinsip kemandirian.
Kedua, “Bahni-bahna Amurbeng-jurit”, selalu berada di depan dengan memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran.
Ketiga, “Rukti-setya Garba-rukmi”, bertekad bulat menghimpun segala daya dan potensi, guna kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa.
Keempat, “Sripandayasih-Krami”, bertekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi masyarakat luas.
Kelima, “Galugana-Hasta”, mengembangkan seni-sastra, seni-suara dan seni tari, guna mengisi peradaban bangsa.
Keenam, “Stiranggana-Cita”, sebagai pelestari dan pengembang budaya, pencetus sinar pencerahan ilmu dan pembawa obor kebahagiaan umat manusia. Dan yang terakhir, butir
ketujuh, “Smara-bhumi Adi-manggala”, tekad juang lestari untuk menjadi pelopor pemersatu dari pelbagai kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam perdamaian di mayapada.
Ada juga ajaran kepemimpinan yang lain, misalnya, “Serat Wulang Jayalengkara” yang menyebutkan, seorang penguasa haruslah memiliki watak “Wong Catur” (empat hal), yakni: retna, estri, curiga, dan paksi. Retna atau permata, wataknya adalah pengayom dan pengayem, karena khasiat batu-permata adalah untuk memberikan ketentraman dan melindungi diri. Watak estri atau wanita, adalah berbudi luhur, bersifat sabar, bersikap santun, mengalahkan tanpa kekerasan atau pandai berdiplomasi. Sedangkan curiga atau keris, seorang pemimpin haruslah memiliki ketajaman olah-pikir, dalam menetapkan policy dan strategi di bidang apa pun. Terakhir simbol paksi atau burung, mengisyaratkan watak yang bebas terbang kemana pun, agar dapat bertindak independen tidak terikat oleh kepentingan satu golongan, sehingga pendapatnya pun bisa menyejukkan semua lapisan masyarakat.
Ini sekadar menunjukkan contoh, betapa kayanya piwulang para leluhur, selain yang sudah teramat masyhur, yang termuat dalam episode Astha-Brata. Atau yang lain, kepemimpinan ideal berwatak Pandawa-Lima, yang dikawal dengan kesetiaan dan keikhlasan oleh seorang sosok Semar dan pana-kawan lainnya anak Semar. Di mana deskripsi, derivasi dan penjabaran serta aplikasinya dalam suatu kepemimpinan aktual mengundang kajian para budayawan dan cendekiawan kita.
Sementara untuk memahami keberadaan kita sekarang, mungkin ada baiknya jika membuka lembaran Babad Giyanti. Tatkala Pangeran Mangkubumi sebelum jumeneng Sri Sultan Hamengku Buwono I bergerilya di kawasan Kedu dan Kebanaran, pernah berujar secara bersahaja, yang dikutip dalam Babad Giyanti: “Satuhune Sri Narapati Mangunahnya Brangti-Wijayanti”. Ucapan itu menunjukkan keprihatinan beliau, bahwa kultur Barat sebagai akses gencarnya politik kolonialisme Belanda yang mencekik, niscaya akan membuat raja-raja Jawa terkena demam asmara dan lemah-lunglai tanpa daya.
Keadaan ini harus dihadapi dengan “wijayanti”, untuk bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. Maka dianjurkannya: “puwarane sung awerdi, gagat-gagat wiyati”, untuk menjadi pemenang, seorang raja haruslah meneladani sikap tulus tanpa pamrih, agar bisa menyambut cerahnya hari esok yang laksana biru nirmala.
Ungkapan ini rasanya amat relevan dengan keadaan sekarang ini, karena ada paralelisme histori, di saat kita menghadapi hantaman derasnya arus globalisasi, yang mengharuskan kita untuk tidak hanya berpangku tangan, melainkan harus bersiap diri untuk lebih meningkatkan kualitas dalam semua aspek kehidupan. Harus “eling lan waspada” menghadapi berbagai godaan dan cobaan di zaman Kala-tidha ini, di mana banyak hal yang diliputi oleh keadaan yang serba “tida-tida” – penuh was-was, keraguan, dan ketidakpastian.




KELUARGA BESAR PAGUYUPAN PUJAKESUMA SUMATERA SELATAN

  PUJA KESUMAHalaman Muka.