SUGENG RAWUH - SELAMAT DATANG - DI SITUS POEDJA KESOEMA - UNTUK BELAJAR SERTA IKUT MELESTARIKAN BUDAYA ADI LUHUNG BANGSA INDONESIA

Sinambi midangetaken Gendhing Jawa

Jumat, 19 November 2010

PRABU JAYA BAYA

Merunut Jejak Sang Raja Waskita Prabu Jayabhaya
PUTRA RAJA PRABU ERLANGGA
Jayabhaya yang sedemikian populer dan abadi dengan ramalannya, merupakan raja paling terkenal di Kediri Jawa Timur sesudah zaman Prabu Erlangga. Dalam sejarahnya, Jayabhaya tak hanya dikenal sakti dan waskita. Tetapi, juga kejam karena tega menggempur adiknya sendiri, Jayasabha.
Rentang jauh perjalanan sejarah jagat Nusantara dimulai dengan kedatangan para pengembara dari Saka Hindhustan atau India. Sejak kedatangan bangsa Saka itulah, menurut para ahli sejarah kuno, Nusantara mulai mengenal pola kekuasaan raja sebagai titisan Dewa. DR Franz Magnis Suseno SJ, dalam sebuah bukunya menyebut berdasarkan sumber data dari China, sebelum kedatangan para pengembara dari Hindhustan, Nusantara baru mengenal pemimpin lokal yang mengatur soal irigasi.
Kaum brahmana memperkenalkan konsep kerajawian Hindhu dengan berbagai pola hidupnya. Demikian pula dengan sistem perhitungan hari atau kalendernya. Karena itu, sistem penanggalan yang kini sering disebut kalender Jawa, dulu disebut Saka karena berasal dari bangsa Saka di Hindhustan. Pada sekitar abad VI dan VII, mulai dikenal sejumlah kerajaan besar seperti Sriwijaya di Sumatra, dan Mataram Hindhu di Jawa Tengah. Saat itu, Nusantara dikenal dengan sebutan Swarna Dwipa untuk kepulauan Sumatra, dan Jawa Dwipa untuk kepulauan Jawa. Istilah Nusantara baru dikenal kemudian pada zaman Majapahit.
Ketika itu, raja terkenal berasal dari dinasti Syailendra dan Sanjaya. Sampai pada sekitar abad X, peradaban jaya Swarna Dwipa dan Jawa Dwipa berubah total oleh letusan Gunung Merapi. Seluruh peradaban di Jawa Tengah luluh lantak, dan memaksa para raja memindahkan pusat kerajaannya ke Jawa Timur. DR Franz Magnis Suseno, SJ menyebut peristiwa itu terjadi pada tahun 1000 Masehi. Empu Sendok, dikatakannya sebagai raja pertama di Jawa Timur.
Pada sekitar abad itu, mulai muncul raja Hindhu lain dari dinasti Warmadewa, yang berkuasa di Bali. Seperti halnya di Indhia, penganut Hindhu yang terdiri dari beberapa aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Bali Mula atau penduduk asli Bali di Tampurhyang-Batur-Kintamani dan Bali Aga atau penganut Hindhu dari Jawa, saling bertikai. Seorang raja yang berhasil mempersatukan beberapa aliran kepercayaan itu adalah Udayana Warmadewa dan permaisurinya, Gunapriya Darmapatni (988-1011 Masehi). Dari raja besar itu kemudian lahir Prabu Erlangga, yang kelak di kemudian hari menurunkan Jayabhaya dan Jayasabha.
Pecahnya Daha
Gunapriya Darmapatni, ibunda Erlangga adalah putri Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa, raja Daha di Jawa Timur. Daha sering pula disebut Kahuripan. Ketika raja Daha di Jawa Timur tersebut wafat, kakak Gunapriya Darmapatni bernama Kameswara menjadi raja di Daha. Bertahun-tahun kemudian, Erlangga menggantikannya menjadi raja di Daha pada 1019-1085 Masehi, bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Darmawangsa Erlangga Ananta Wikrama Tungga Dewa. Gelar ini menjadi penyebab terputusnya Erlangga dari garis wangsa Warmadewa, dan berujung pada pecahnya Daha menjadi dua, Jenggala dan Kediri.
Dikisahkan, Prabu Erlangga memiliki dua putra. Sri Jayabhaya dan Sri Jayasabha. Khawatir terjadi perang saudara di antara kedua putranya, Erlangga mengutus Empu Baradah menemui ayahandanya di Bali, dan meminta tahta untuk salah seorang putranya. Permintaan itu ditolak, karena Erlangga dianggap telah melepaskan haknya di kerajaan Bali, dengan menjadi raja di Daha. Terpaksa Prabu Erlangga memecah kerajaannya menjadi dua, Daha atau Kediri dan Panjalu atau Jenggala, untuk dibagikan kepada dua putranya.
Garis perbatasan antara dua kerajaan itu lalu dibuat oleh Empu Barada, dengan bangunan dinding batu. Siapa pun yang berani melanggar akan terkena kutukan para dewa. Kutukan Empu Barada. Namun, beberapa tahun setelah Prabu Erlangga wafat, perang saudara tetap berkobar. Kerajaan Daha yang dipimpin oleh Jayasabha akhirnya runtuh, dan Jayabhaya menjadi raja tunggal di Jawa Timur. Kerajaan Daha dan Jenggala kembali menyatu dan berpusat di Kediri.
Jayabhaya menjadi raja besar dan paling terkenal pasca Prabu Erlangga. Keadaan negara aman-tenteram, dan berbagai karya sastra lahir pada zamannya. Kehadiran karya sastra merupakan pertanda kemakmuran negara. Prabu Jayabhaya yang bergelar Sang Mapanji Jayabhaya Sri Dharmaishwara Madus Sudana Wartanindhita memerintah sejak 1135-1157 Masehi, berpusat di Mamenang. Saat itu, dua orang empu yang terkenal adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Kedua Empu tersebut diperintah oleh Prabu Jayabhaya untuk menyadur Kitab Baratayuda yang berbahasa Indhia ke dalam bahasa sehari-hari pada masa itu, Kakawin. Kehebatan kedua Empu tersebut adalah mampu menyalin setiap peristiwa dalam Kitab Baratayuda seolah-olah peristiwanya terjadi di tanah Jawa. Baratayuda menggambarkan perang saudara antara putra Prabu Erlangga. Baratayuda gubahan Empu Sedah dan Empu Panuluh itu diberi surya sengkala: Sangka Kuda Sudda Candrama (1079 Saka atau 1157 Masehi). Selain berarti angka tahun, sengkalan tersebut juga berarti beliau yang berkuda putih mempunyai hati bersih seperti bulan. Tak lain yang dimaksud beliau adalah Prabu Jayabhaya.
Pada zaman Kerajaan Surakarta, Kitab Baratayuda gubahan Empu Sedah dan Empu Panuluh disadur lagi oleh Pujangga Keraton Surakarta, Ki Yosodipuro I (kakek RNg. Ronggowarsito) ke dalam bentuk tembang. Menurut Kitab Negara Kertagama, Baratayuda dalam bahasa Kakawin memang merupakan ungkapan sejarah perang saudara antara Kediri dan Jenggala. Bahkan, kitab tersebut dianggap sebagai apologi atau pembelaan Prabu Jayabhaya atas perbuatannya yang telah membunuh Prabu Hemabupati atau Jayasabha, yang tak lain adalah adiknya sendiri.
Membunuh saudara sendiri membuat Jayabhaya merasa berdosa. Apa lagi jika mengingat pesan Prabu Erlangga dan Empu Barada. Maka, karya sastra hasil gubahan Empu Sedah dan Panuluh merupakan ruwatan atas perbuatan Sang Prabu Jayabhaya. Sejak itu, Jayabhaya mulai menggiatkan kegiatan susastra, sehingga muncul berbagai ramalan ramalan yang terkenal seperti Jongko Joyoboyo dan lainnya. KOKO T.




KELUARGA BESAR PAGUYUPAN PUJAKESUMA SUMATERA SELATAN

  PUJA KESUMAHalaman Muka.